CONTRADICTURE DELIMITATIE "Segenggam Semangat Musyawarah Mufakat ditengah Gelombang Transformasi Agraria"

LATAR BELAKANG

Pemanfaatan Tanah tidak hanya sebatas pada usaha untuk mencukupi kebutuhan bidang pangan saja, melainkan juga untuk usaha-usaha yang lebih luas yang menyangkut perkembangan kehidupan seperti misalnya tanah untuk perumahan, pendirian bangunan industri, perkantorann, pendidikan, tempat ibadah, dan berbagai keperluan yang lain. Karena keadaan tanah terbatas sedangkan penduduk bertambah terus dengan pesatnya, maka dengan sendirinya jumlah penduduk yang ingin mendayagunakan tanah menjadi tidak seimbang dengan keadaan tanahnya. Dalam keadaan demikian, tanpa adanya pengaturan yang tegas, maka tanah seringkali justru menjadi “masalah” bagi manusia, baik disebabkan karena perebutan hak antara beberapa pihak maupun pendayagunaan tanah yang salah dan mengakibatkan kerugian bagi pihak lain. Selain itu, Pemerintah sendiri memerlukan data penguasaan tanah, selain untuk perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya, juga untuk menjamin kepastian hukum atas tanah oleh rakyat.

Dengan mengacu pada permasalahan tersebut diatas, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai wujud keseriusan Pemerintah dalam mengantisipasi masalah-masalah Pertanahan yang seringkali menjadi “bom waktu” yang kapan saja bisa meledak ditengah-tengah masyarakat. Didalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997, termuat sebuah Azas yang mewajibkan pemegang Hak atas Tanah untuk memperhatikan Penempatan, Penetapan dan Pemeliharaan batas tanah berdasarkan persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan yang dalam hal ini adalah tetangga berbatasan. Azas yang dimaksud adalah Azas Contradicture Delimitatie, yang merupakan langkah awal untuk menghindari adanya benih-benih sengketa Pertanahan dalam Proses Pendaftaran Tanah itu sendiri.
Azas Contradicture Delimitatie, mewajibkan calon pemegang hak untuk memasang tanda batas pada setiap titik sudut batas dan disetujui oleh pihak yang berbatasan serta harus ada penetapan batasnya terlebih dahulu sebelum dilakukan pengukuran dalam rangka Pendaftaran Tanah oleh Pemerintah yang dalam hal ini kewenangannya dilimpahkan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN. RI) dengan Kantor Wilayah-Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan-Kantor Pertanahan nya yang tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Dalam perspektif Pancasila sebagai Ideologi bangsa Indonesia, Azas Contradicture Delimitatie merupakan salah satu wujud pencerminan sila ke-4 pancasila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Benang merah yang dapat ditarik antara Azas Contradicture Delimitatie dengan Sila Ke-4 Pancasila tersebut adalah pada semangat Pancasila dalam mengimplementasikan Musyawarah untuk Mufakat dalam mengambil keputusan yang dalam hal ini adalah persetujuan dan penetapan batas-batas tanah oleh pihak-pihak berbatasan dalam rangka Pendaftaran Tanah.
Azas  Contradicture Delimitatie dalam Pendaftaran Tanah menjadikan prinsip Musyawarah Mufakat yang terkandung dalam sila ke-4 Pancasila sebagai landasan dalam penerapannya di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum atas letak dan batas objek pendaftaran tanah serta menghindari terjadinya sengketa dan konflik Pertanahan yang akan terjadi dikemudian hari.  Dengan prinsip musyawarah mufakat, persetujuan dan penetapan batas suatu bidang tanah dapat terhindar dari adanya silang pendapat antara pihak-pihak yang berbatasan. Segala permasalahan yang timbul akibat belum tercapainya kata sepakat dimusyawarahkan dahulu dengan bijaksana bersama pihak yang berbatasan sampai tercapai kata sepakat sehingga proses pendaftaran tanah bidang tanah bersangkutan dapat berjalan lancar dan terhindar dari potensi konflik.
Seiring berjalannya waktu, Nilai-nilai Pancasila perlahan-lahan mulai terkikis oleh badai Ideologisasi barat. Angin Reformasi yang berhembus secara tersembunyi juga membawa konsepsi pemikiran dunia barat yang negatif dan cenderung melemahkan sistem demokrasi Pancasila dan menggantinya dengan sistem demokrasi liberal yang dapat melumpuhkan semangat reformasi itu sendiri. Sikap Egois dan mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dapat dikatakan sebagai “anak” yang lahir dari sistem demokrasi liberal. Kebebasan yang penuh diberikan oleh pemerintah dalam sistem demokrasi liberal menghembuskan nyawa bagi sikap egois dan mementingkan kepentingan pribadi atau golongan untuk lahir ditengah-tengah masyarakat. Sehingga menyebabkan Musyawarah Mufakat seakan-akan hanyalah sebuah teori tanpa ada implementasinya. Tanpa disadari, secara tidak langsung hal itulah yang menjadi salah satu penyebab suburnya benih-benih sengketa Pertanahan karena begitu susahnya mencapai kata mufakat diantara para pihak-pihak berkepentingan dalam penetapan batas bidang tanah.



KONSEPSI
Musyawarah adalah proses pembahasan suatu persoalan dengan maksud mencapai keputusan bersama. Mufakat adalah kesepakatan yang dihasilkan setelah melakukan proses pembahasan dan perundingan bersama. Jadi musyawarah mufakat merupakan proses membahas persoalan secara bersama demi mencapai kesepakatan bersama[1]

Musyawarah  mufakat merupakan nilai luhur yang dihasilkan dari akar budaya bangsa Indonesia. Musyawarah mufakat secara tegas dinyatakan dalam  sila keempat Pancasila. Sila keempat Pancasila menegaskan bahwa prinsip kerakyatan Indonesia harus dijalankan dengan cara permusyawaratan yang bijaksana.  Dalam kehidupan bermasyarakat, prinsip musyawarah mufakat adalah tonggak penting dalam mewujudkan keadilan yang menyuluruh. Keputusan-keputusan yang diambil atas dasar Musyawarah mufakat dapat meredam terjadinya pertikaian dikemudian hari. Hal ini sangat berbeda jika keputusan yang diambil berdasarkan atas penentuan suara terbanyak atau yang dikenal dengan istilah voting. Keputusan berdasarkan voting berpotensi menimbulkan konflik dikemudian hari karena karena keputusan yang diambil hanya berdasarkan suara terbanyak dan menyisihkan golongan oposisi yang tidak sepenuhnya setuju dengan keputusan yang diambil sehingga kapan saja mereka bisa menjadi bumerang bagi suatu sistem serta tidak memenuhi azas keadilan yang menyeluruh.

Penetapan batas dilakukan oleh pemilik tanah dan para pemilik tanah yang berbatasan secara kontradiktur dikenal dengan asas kontradiktur. Penetapan batas secara kontradiktur merupakan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian ini melibatkan semua pihak, masing-masing harus memenuhi kewajiban menjaga letak batas bidang tanah.[2]

Adapun ketentuan yang mengatur tentang Azas Contradicture Delimitatie dalam Pendaftaran Tanah terdapat dalam Pasal 17, 18, dan 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sebagai berikut:

Pasal 17
(1) Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya, batas-batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan.
(2)  Dalam penetapan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.
(3) Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
(4) Bentuk, ukuran, dan teknik penempatan tanda batas ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 18
(1) Penetapan batas bidang tanah yang sudah dipunyai dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar tetapi belum ada surat ukur/gambar situasinya atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sebenarnya, dilakukan oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, berdasarkan penunjukan batas oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh para pemegang hak atas tanah yang berbatasan.
(2)  Penetapan batas bidang tanah yang akan diberikan dengan hak baru dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau atas penunjukan instansi yang berwenang.
(3)  Dalam menetapkan batas-batas bidang tanah Panitia Ajudikasi atau Kepala Kantor Pertanahan memperhatikan batas-batas bidang atau bidang-bidang tanah yang telah terdaftar dan surat ukur atau gambar situasi yang bersangkutan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dituangkan dalam suatu berita acara yang ditandatangani oleh mereka yang memberikan persetujuan.
(5) Bentuk berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 19
(1) Jika dalam penetapan batas bidang tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan antara pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dengan pemegang hak atas tanah yang berbatasan, pengukuran bidang tanahnya diupayakan untuk sementara dilakukan berdasarkan batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang-bidang tanah yang bersangkutan.
(2) Jika pada waktu yang telah ditentukan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan atau para pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak hadir setelah dilakukan pemanggilan, pengukuran bidang tanahnya, untuk sementara dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketua Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik membuat berita acara mengenai dilakukannya pengukuran sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk mengenai belum diperolehnya kesekapatan batas atau ketidakhadiran pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
(4) Dalam gambar ukur sebagai hasil pengukuran sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibubuhkan catatan atau tanda yang menunjukkan bahwa batas-batas bidang tanah tersebut baru merupakan batas-batas sementara.
(5) Dalam hal telah diperoleh kesepakatan melalui musyawarah mengenai batas-batas yang dimaksudkan atau diperoleh kepastiannya berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diadakan penyesuaian terhadap data yang ada pada peta pendaftaran yang bersangkutan.

Berdasarkan Ketentuan-ketentuan tersebut, Pemerintah (dalam hal ini BPN) dengan jelas menjadikan Azas Contradicture Delimitatie sebagai dasar dalam menjamin kepastian hukum atas objek yaitu meliputi letak dan batas tanah yang akan diterbitkan sertipikatnya. Hal ini juga dapat merupakan langkah awal dalam mengantisipasi terjadi konflik mengenai letak dan batas tanah objek pendaftaran tanah tersebut dikemudian hari.

"Musyawarah mufakat, landasan penting untuk Azas Contradicture  Delimitatie dalam rangka Pendaftaran Tanah"
Azas  Contradicture Delimitatie dalam Pendaftaran yang bertujuan untuk menghindari terjadinya sengketa dan konflik Pertanahan dikemudian hari, dibangun atas dasar keputusan yang disepakati bersama oleh pihak-pihak yang berkepentingan tanpa ada paksaan dan tekanan dari luar. Keputusan yang diambil harus melalui jalan Musyawarah hingga tercapai kata sepakat diantara kedua belah pihak yang berbatasan untuk menjamin bahwa keputusan yang diambil tidak berat sebelah dan menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak.  

Sebagai contoh, ketika pihak A hendak mensertipikatkan tanahnya, maka sebelum dilaksanakannya pengukuran dalam rangka pendaftaran tanah oleh petugas Kantor Pertanahan, dengan mengacu pada Azas  Contradicture Delimitatie, pihak A diwajibkan untuk memasang tanda batas yang disaksikan dan disetujui oleh pihak-pihak yang berbatasan langsung dengan bidang tanah yang hendak ia sertipikatkan. Didalam persetujuan batas inilah terdapat unsur-unsur musyawarah mufakat dalam mencapainya. Batas-batas tanah yang telah disetujui oleh pihak-pihak berbatasan merupakan hasil dari musyawarah yang dilakukan hingga tercapai kata sepakat diantara pihak-pihak yang berbatasan tanah tersebut.  Lain halnya jika dalam menetapkan batas bidang tanah, Pihak A tidak melibatkan pihak-pihak lain yang berbatasan dengan tanahnya atau dalam menetapkan batas tanah tersebut pihak A hanya berdasarkan atas kemauannya sendiri tanpa adanya musyawarah dengan pihak-pihak yang berbatasan dengan tanahnya, maka yang terjadi adalah tumbuhnya benih-benih sengketa dan konflik atas bidang tanah tersebut dikemudian hari akibat penetapan batas tanah yang tidak melalui jalan musyawarah untuk mufakat.

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa Musyawarah mufakat merupakan landasan penting untuk Azas  Contradicture Delimitatie dalam rangka Pendaftaran Tanah. Karena tanpa adanya musyawarah mufakat dalam penetapan batas tanah, maka tujuan luhur dari Pendaftaran Tanah yang bercita-cita menertibkan pemilikan,penguasaan dan penggunaan tanah demi meredam sengketa dan konflik pertanahan yang akan terjadi dikemudian hari akan kontradiksial dengan apa yang terjadi.

"Azas Contradicture Delimitatie sebagai perisai terhadap sengketa dan konflik Pertanahan"
Dalam suatu persetujuan penetapan batas oleh pihak-pihak berbatasan dalam rangka pendaftaran tanah, dibutuhkan kata “sepakat” oleh pihak-pihak tersebut melalui jalan musyawarah yang dilakukan sebelumnya. Dengan cara itu, maka sengketa dan konflik pertanahan yang akan terjadi dikemudian hari dapat terhindarkan. Berbeda dengan jika Azas  Contradicture Delimitatie yang didalamnya termuat unsur musyawarah mufakat tidak diindahkan dan bahkan dilanggar, baik dengan tidak melakukan musyawarah sebelumnya dengan pihak berbatasan ataupun sudah melakukan musyawarah namun masih belum mencapai kata mufakat dan dengan itikad tidak baik tetap memaksakan bidang tanah tersebut agar tetap bisa diterbitkan sertipikat tanahnya, hal ini dengan jelas akan memicu terjadinya sengketa dan konflik pertanahan baik pada saat itu juga maupun menjadi “bom waktu” yang kapan saja bisa meledak.

Secara umum, benih-benih sengketa dan konflik Pertanahan tersebut tumbuh subur dengan semakin banyaknya orang yang menganggap bahwa Azas  Contradicture Delimitatie tidakalah penting dan hanya sebagai formalitas saja dalam pengurusan sertipikat tanah. Padahal ketentuan yang mengatur tentang Azas Contradicture Delimitatie yang terdapat dalam Pasal 17, 18, dan 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sangat penting demi meredam terjadinya konflik yang akan muncul dikemudian hari. Azas tersebut dapat dikatakan sebagai langkah awal dalam mengantisipasi terjadinya sengketa dan konflik Pertanahan.
Segala sesuatu yang diputuskan berdasarkan musyawarah tentunya mempunyai nilai keadilan bagi para pihak yang berkaitan. Termasuk juga dalam hal penetapan batas tanah. Penetapan batas tanah oleh pihak-pihak yang berbatasan yang didasarkan pada prinsip musyawarah tentunya akan dijuunjung tinggi oleh pihak-pihak yang berbatasan karena didalamnya termuat pula nilai-nilai keadilan, kebijaksanaan, kearifan serta saling menghargai kepentingan orang lain. Sehingga konflik pun dapat dengan mudah diatasi atau bahkan tidak akan terjadi samasekali. Disitulah teruji ketangguhan Azas Contradicture Delimitatie sebagai perisai terhadap sengketa dan konflik Pertanahan dikemudian hari.



NILAI-NILAI
  
Dari berbagai penjelasan sebelumnya, terdapat nilai-nilai luhur yang dengan jelas tersurat maupun secara tersembunyi tersirat didalam pendekatan sikap mengenai Azas Contradicture Delimitatie. Adapun nilai-nilai luhur tersebut yaitu:

1.        Musyawarah Mufakat;   Musyawarah  mufakat merupakan nilai luhur yang dihasilkan dari akar budaya bangsa Indonesia dan menjadi landasan penting dalam azas Contradicture Delimitatie, karena setiap keputusan persutujuan tentang batas tanah ditetapkan melalui musyawarah untuk mufakat guna menghindari terjadinya silang pendapat dikemudian hari yang berujung pada terjadinya sengketa dan konflik Pertanahan.  

2.       Prinsip Keadilan dan Kebijaksanaan;  Keadilan dan Kebijaksanaan sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan berdasarkan Musyawarah Mufakat. Dalam hal persetujuan batas bidang tanah berdasarkan azas Contradicture Delimitatie, diperlukan sebuah musyawarah yang berkeadilan dan berkebijaksanaan. Artinya keputusan persetujuan tanda batas yang diambil mempunyai nilai keadilan yang bijaksana bagi para pihak yang berbatasan.

3.         Pilar Ketahanan Nasional;  Sengketa dan Konflik Pertanahan dapat meruntuhkan persatuan dan kesatuan serta integritas bangsa yang secara langsung berpengaruh juga pada melemahnya Ketahanan Nasional. Oleh karena itu, Azas Contradicture Delimitatie yang bertujuan meminimalisir terjadinya sengketa dan konflik pertanahan dikemudian hari juga merupakan salah satu usaha dalam meningkatkan Ketahanan Nasional Bangsa Indonesia.

4.        Toleransi dan Saling Menghargai kepentingan orang lain;  Dengan bermusyawarah mufakat dalam Azas Contradicture Delimitatie, berarti nilai-nilai toleransi dan saling menghargai kepentingan orang lain telah dilaksanakan. Setiap manusia diciptakan berbeda antara satu dengan lainnya, begitu pula dengan konsep pemikirannya terhadap sesuatu pasti akan berbeda pula dipengaruhi oleh kepentingannya dalam hal tersebut. Dalam hal persetujuan batas tanah, seseorang  akan mempertahankan dengan sepenuh tenaga tanah yang dirasa menjadi haknya,  karena pada dasarnya tanah merupakan kebutuhan pokok dari setiap manusia. Oleh karena itu, azas Contradicture Delimitatie memberikan ruang kepada nilai-nilai toleransi dan saling menghargai kepentingan orang lain dalam penetapan batas bidang tanah dalam rangka pendaftaran tanah.


KESIMPULAN

Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem Keagrariaan di Indonesia terus melakukan transformasi untuk mencari bentuk yang seimbang seiring bergulirnya bola reformasi di tanah air dan paham-paham barat yang terus berusaha memperkuat cengkramannya di berbagai Negara termasuk Indonesia. Dalam proses transformasi tersebut, Bangsa Indonesia seringkali diterpa badai sengketa dan konflik keagrariaan itu sendiri.

Sengketa dan Konflik Pertanahan yang akhir-akhir terjadi merupakan cermin kegagalan sistem Keagrariaan dimasa lalu yang meledak disaat ini. Namun, sistem Keagrarian tersebut tidak seluruhnya dikatakan gagal, karena diantaranya ada sistem yang perlu dipertahankan dan bahkan ditingkatkan guna menhindari terjadinya konflik itu sendiri, yaitu pendaftaran tanah yang berlandaskan atas Azas  Contradicture Delimitatie.

Azas  Contradicture Delimitatie dalam Pendaftaran Tanah menjadikan prinsip Musyawarah Mufakat yang terkandung dalam sila ke-4 Pancasila sebagai landasan dalam penerapannya di masyarakat. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya sengketa dan konflik Pertanahan yang akan terjadi dikemudian hari.  Dengan prinsip musyawarah mufakat, persetujuan dan penetapan batas suatu bidang tanah dapat terhindar dari adanya silang pendapat antara pihak-pihak yang berbatasan. Segala permasalahan yang timbul akibat belum tercapainya kata sepakat dimusyawarahkan dahulu dengan bijaksana bersama pihak yang berbatasan sampai tercapai kata sepakat sehingga proses pendaftaran tanah bidang tanah bersangkutan dapat berjalan lancar dan terhindar dari potensi konflik dikemudian hari.

Benih-benih sengketa dan konflik Pertanahan bagaikan “bom waktu” yang kapan saja bisa meledak. Oleh karena itu, Azas  Contradicture Delimitatie yang merupakan salah satu “senjata” Institusi Badan Pertanahan Nasional (BPN), kalangan pemerhati Pertanahan, maupun masyarakat dalam meminimalisir sengketa dan konflik Pertanahan yang akan terjadi, patutlah untuk lebih diperhatikan dan ditaati dengan seksama.  Ketentuan-ketentuan tentang Azas  Contradicture Delimitatie yang terdapat dalam Pasal 17, 18, dan 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pemasangan, persetujuan dan penetapan batas bidang tanah dalam rangka pendaftaran tanah harus dilandaskan pada prinsip Musyawarah Mufakat demi menghindari sengketa dan konflik dikemudian hari secara khusus, dan demi tercapainya tertib administrasi pertanahan secara umum yang merupakan salah satu tujuan dari Pendaftran Tanah itu sendiri.


[1] Angga Persie Satria, “Pengertian Musyawarah Mufakat”, The Global Sources for Summaries and Reviews, diakses dari http://id.shvoong.com/social-sciences/political-science/2196530-pengertian-musyawarah-mufakat/  pada tanggal 5 februari 2012 pukul 09.00 wib.
[2] Tjahjo Arianto, “Letak batas bidang tanah yang mempunyai kekuatan Hukum”, Hukum Pertanahan dan Survei Kadastral, diakses dari http://hukumpertanahansurveikadastral.blogspot.com/2011/07/letak-batas-bidang-tanah-yang-mempunyai.html  pada tanggal 6 februari 2012 pukul 21.00 wib.

4 komentar:

  1. selamat malam..
    terima kasih kepada bapak Andika ,, karena materi dalam blog ini sangat memnbantu saya,, menambah pengetahuan dan tugas saya dapat terselesaikan..
    mohon ijin mengcopy data materi di atas..
    sekali lagi terima kasih..

    THEZAR P. PARENTA
    STPN
    12 / D1 / 4119

    BalasHapus
  2. contradictioire delimitatie adalah salah apabila diterjemahkan secar a individu, yg akan menghasilkan pemahaman yg salah pula, sehingga tidak menghasilkan keputusan yg mutlak, seharusnya dihubungkan jg dg azas azas yg lain adalah azas azas sbb:
    1.“cujus est solum, ejus est usque ad caelum et ad inferos”
    2.“terra manens vacua occupanti conceditur jus”
    3.“trespass’
    4.“trespass quare clausum fregit” dan azas2 lain terkait
    refert to http://soesangobeng.com/product/memahami-hukum-pertanahan.
    dikarenakan berhubungan dengan hak milik perdata kebendaan seseorang .
    semoga reformasi agraria berjalan seperti yg kita harapkan

    BalasHapus
  3. dikarenakan kesalahan pemahaman azas "contradictioire delimitatie"yg terpisah, maka pulau2 Sipadan dan Ligitan menjadi di akuisisi / di rebut oleh negara tetangga. Begitu pula kasus Ambalat, dimana negara tetangga malah mengabaikan azas contradictioire delimitatie,
    semoga dg pemahaman yg penuh, Kesalahan kita dalam menjaga tanah pusaka tidak lagi terulang

    BalasHapus
  4. contradictioire delimitatie adalah salah apabila diterjemahkan secar a individu, yg akan menghasilkan pemahaman yg salah pula, sehingga tidak menghasilkan keputusan yg mutlak, seharusnya dihubungkan jg dg azas azas yg lain adalah azas azas sbb:
    1.“cujus est solum, ejus est usque ad caelum et ad inferos”
    2.“terra manens vacua occupanti conceditur jus”
    3.“trespass’
    4.“trespass quare clausum fregit” dan azas2 lain terkait
    refert to http://soesangobeng.com/product/memahami-hukum-pertanahan.
    dikarenakan berhubungan dengan hak milik perdata kebendaan seseorang .
    semoga reformasi agraria berjalan seperti yg kita harapkan

    BalasHapus