Tanggal 24
September 2010 genap 50 tahun Undang-Undang Pokok-pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
terbit. Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah mewujudkan amanat
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 agar tercapai keadilan akses terhadap perolehan dan
pemanfaatan bumi, air, dan kekayaan alam di dalamnya.Namun, perkembangan di
segala bidang dan kebutuhan sumber daya alam (SDA) yang meningkat memerlukan
penyempurnaan UUPA secara komprehensif dan responsif terhadap aspirasi
masyarakat.
Degradasi UUPA
Sejatinya, UUPA
dimaksudkan berlaku untuk semua SDA, tidak hanya tanah. Proses penyusunannya
selama 12 tahun diwarnai dengan ketidakstabilan penyelenggaraan negara dan
konflik politik. Didorong oleh kebutuhan mendesak terbitnya UUPA, dapat
dipahami bahwa di luar 10 pasal yang memuat dasar dan ketentuan pokok, hampir
80 persen UUPA mengatur pertanahan.
Kekuranglengkapan
UUPA semestinya dilengkapi pada tahun – tahun berikutnya. Akan tetapi, yang
terjadi adalah pada 1970-an terbit berbagai UU sektoral (kehutanan,
pertambangan, minyak dan gas bumi, pengairan, dan lain-lain) untuk
mengimplementasikan pembangunan ekonomi. UU sektoral itu masing-masing
berlandaskan pada Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 tanpa merujuk pada UUPA. Sejak
saat itu, kedudukan UUPA didegradasi menjadi UU sektoral, khusus mengatur
pertanahan. UU sektoral yang
disusun sesuai dengan visi, misi, dan orientasi tiap sektor itu ternyata
tumpang tindih. Akibatnya, keadilan dan kepastian hukum di bidang SDA sungguh
dipertaruhkan. Hasil kajian terhadap 12 UU sektoral (Maria Sumardjono, dkk,
2009) mengonfirmasikan hal itu.
Dilihat dari
aspek orientasi, keberpihakan, pengelolaan, perlindungan HAM, dan penerapan
tata kelola pemerintahan yang baik, terdapat inkonsistensi antar-UU sektoral.
Dampak disharmoni dapat dilihat pada sulitnya koordinasi, degradasi SDA,
ketimpangan struktur penguasaan dan pemanfaatan SDA, serta berbagai konflik
yang berlarut.
Di bidang
pertanahan sudah terbit banyak peraturan pelaksanaan UUPA. Namun, masih ada dua
persoalan mendasar pembangunan hukum pertanahan. Pertama, belum tersedia cetak
biru kebijakan pertanahan yang komprehensif. Berbagai peraturan disusun untuk
mengatasi hambatan yang terjadi dan urgensi-urgensi lain. Adanya tenggat
penyelesaian peraturan mendorong penyusunan peraturan tidak selalu dilandasi
pada Naskah Akademik (NA) yang memuat kerangka konseptual sebagai dasar perumusan
peraturan yang bersangkutan. Bisa jadi NA bahkan dibuat bersamaan atau setelah
peraturan selesai disusun. Penyusunan peraturan yang reaktif dan parsial
berpotensi menghasilkan produk hukum temporer. Kedua, arah dan strategi
penyempurnaan UUPA belum tampak jelas. Kondisi yang dilematis ini perlu
dicarikan solusinya.
Dilema UUPA
Wacana revisi
UUPA diawali dengan usulan Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 1998, yang
memilih revisi UUPA sebagai UU payung/induk pengaturan sumber-sumber agraria
(lex generalis). Tahun 2000 BPN menyusun RUU Pertanahan (lex specialis) dan
September 2004 BPN menyusun RUU Sumber Daya Agraria (lex generalis). Tahun
2005/ 2006 BPN kembali menyusun RUU Pertanahan (lex specialis). Tahun 2006 DPD
mengusulkan RUU Penyempurnaan UUPA sebagai lex generalis.
Revisi UUPA
sebagai lex specialis dimaksudkan untuk mempertegas rumusan ketentuan UUPA
seraya menyatukan ketentuan dasar tentang pertanahan yang tersebar dalam
berbagai peraturan. Pilihan ini meminimalkan resistensi sektor lain, tetapi
tidak mengubah peta sektoral dengan segala dampaknya. Revisi UUPA
sebagai lex generalis memerlukan komitmen semua sektor bahwa kelestarian
lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu prinsip
dasar dalam pengaturan SDA. Mengingat tingginya ego sektoral, mengupayakan
komitmen bersama bukanlah pekerjaan mudah.
Konsekuensi
revisi UUPA sebagai lex specialis adalah memperkuat pengaturan di bidang
pertanahan, tetapi tidak menyelesaikan pekerjaan rumah yang ditinggalkan UUPA.
Revisi UUPA sebagai lex generalis dimaksudkan untuk mereposisi UUPA melalui (1)
penguatan prinsip-prinsip UUPA dengan memberi perspektif baru sesuai
perkembangan dan aspirasi masyarakat; (2) perumusan pokok-pokok pengaturan
penguasaan dan pemanfaatan SDA di bidang pertanahan dan SDA selain pertanahan.
Agenda mendesak
Jalan keluar
dari dilema antara kebutuhan penyusunan peraturan pertanahan dan pada saat yang
sama merevisi UUPA adalah dengan mulai menyusun cetak biru kebijakan
pertanahan/agraria sesuai pilihan pendekatan. Melalui cetak biru kebijakan akan
diperoleh gambaran menyeluruh tentang visi, misi, tujuan, strategi, program,
dan skala prioritas, berikut peraturan-peraturan yang diperlukan. Di Republik
Afrika Selatan, proses penyusunan cetak biru kebijakan pertanahan memerlukan
waktu 2,5 tahun melalui konsultasi publik yang ekstensif. Ini diperkaya
pengalaman hasil uji coba kebijakan di lapangan.
Pekerjaan besar
menyusun cetak biru kebijakan pertanahan/ agraria memerlukan komitmen yang kuat
dari semua pemangku kepentingan. Sebelum hal ini terwujud, masa depan UUPA akan
terus dipertanyakan. . (Sumber: Kompas, 24 September 2010)
Tentang penulis:
Maria SW Sumardjono, Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar